"Jangan Titipkan Kepada Pak Lurah"
Oleh : Dadang Sudrajat
Sebagai sebuah ilustrasi, saya ingin menyampaikan sebuah cerita menarik tentang sketsa kehidupan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Cerita itu saya beri judul: ’Jangan Titipkan Kepada Pak Lurah’. Berikut cerita selengkapnya: Alkisah, di sebuah kelurahan hiduplah seorang janda miskin dengan anak laki-lakinya. Kehidupan janda paruh baya itu sangat memprihatinkan. Sejak ditinggal mati suaminya, ia terpaksa harus membanting tulang guna memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Meskipun ia sudah bekerja keras, namun hasil yang ia dapatkan belum bisa mencukupi kebutuhannya. Keprihatinan yang dijalani oleh janda miskin itu semakin bertambah ketika sang anak ingin masuk sekolah. Keinginan anaknya untuk masuk sekolah, tentu saja membuat si janda miskin itu bingung. Bagaimana ia bisa membiayai anaknya masuk sekolah, sedangkan untuk makan sehari-hari saja sudah sangat kesulitan. Dalam kegundahannya itu, tiba-tiba saja ia mendapat sebuah ilham. ”Allah Mahapengasih dan Mahapenyayang. Allah pasti akan membantu kami,” gumamnya dalam hati. Maka, seketika itu pulalah ia berseru kepada anaknya: ”Wahai anakku, bukankah engkau sudah pandai membaca dan menulis? Karena itu, buatlah surat kepada Tuhan. Ceritakanlah tentang kemiskinan kita ini. Ibu yakin, Tuhan pasti mau membantu kita.” Sang anak terdiam sejenak. Ia benar-benar bingung. Tak lama kemudian, ia pun berkata: ”Bu, bagaimana caranya mengirim surat supaya sampai ke tangan Tuhan? Sedangkan kita tidak tahu di mana alamat Tuhan? Lalu, kepada siapakah surat itu kita sampaikan?” Tanpa kekurangan akal, janda miskin itu pun menjelaskan. ”Jangan bingung, anakku. Supaya surat itu sampai ke tangan Tuhan, sebaiknya kita titipkan saja surat itu pada pejabat pemerintahan yang ada di kampung kita ini,” ujar si janda miskin itu. ”Siapakah pejabat pemerintahan yang ibu maksudkan itu?” Tanya si anak tak paham. ”Siapa lagi kalau bukan Pak Lurah,” jawab janda miskin itu. Mendengar jawaban ibunya seperti itu, tanpa pikir panjang lagi sang anak pun langsung mengambil selembar kertas, lalu mulailah ia menulis surat untuk ditujukan kepada Tuhan. Dalam surat yang ditulisnya itu, ia jelaskan tentang kehidupan mereka yang demikian miskinnya, sehingga ia harus meminta uang kepada Tuhan agar ia bisa masuk sekolah dasar. Di sampul surat, ditulisnya: ”Kepada Tuhan, dengan perantara Pak Lurah.” Dengan bantuan Ketua RT setempat, sampailah surat itu ke tangan Pak Lurah. Membaca isi surat tersebut, Pak Lurah merasa trenyuh dan iba sampai meneteskan air mata. Usai membaca, Pak Lurah pun memasukkan uang sebesar Rp 300 ribu ke dalam sebuah amplop. Kepada salah seorang stafnya, Pak Lurah menyuruh untuk mengantarkan surat itu kepada si anak yang menulis surat itu. Mendapat kiriman uang dari Tuhan melalui Pak Lurah, bukan main senangnya hati si anak. Merasa kebutuhannya masih belum tercukupi, maka dua bulan kemudian si anak itu pun mengirim surat kembali kepada Tuhan untuk minta uang melalui perantaran Pak Lurah. Dari surat kedua si anak itu, Pak Lurah menyimpulkan bahwa kebutuhan si anak dan ibunya itu sekitar Rp 150 ribu sebulan. Sebab, dua bulan sejak Pak Lurah memberikan uang sebesar Rp 300 ribu, sang anak pun kini mengirimkan suratnya untuk perihal yang sama. Sebagai balasan surat yang kedua ini, Pak Lurah hanya memasukan uang ke dalam amplop sebesar Rp. 150 ribu. Rencananya, uang sebesar itu akan dikirimkan Pak Lurah setiap bulannya kepada anak itu. Maka, setelah memasukkan uang sebesar Rp 150 ribu ke dalam amplop surat, Pak Lurah menyuruh salah seorang stafnya untuk mengantarkan amplop yang sudah berisi uang itu kepada si anak. Namun, alangkah terkejutnya si anak ketika melihat jumlah uang yang ia terima itu cuma Rp 150 ribu, bukan Rp 300 ribu seperti jumlah yang sudah ia terima sebelumnya. Dengan hati kecewa dan gulana, si anak pun menggerutu. ”Kenapa Tuhan cuma memberi aku uang segini? Kalau cuma sebesar ini, mana mungkin aku bisa beli baju dan sepatu baru?” Pada bulan berikutnya, si anak pun kembali mengirim surat yang ketiga kalinya kepada Tuhan melalui Pak Lurah. Tapi, isi surat yang ketiga yang dikirimkan itu berbeda dengan isi surat pertama dan kedua. Adapun bunyi isi surat ketiga tersebut adalah sebagai berikut: Kepada Tuhan yang baik hati. Kalau Tuhan ingin mengirimkan saya uang, jangan titipkan kepada Pak Lurah. Soalnya, uang yang Tuhan kirimkan itu sudah dipotong terlebih dahulu oleh Pak Lurah. Tuhan tahu tidak, jumlah uang yang Tuhan berikan kepada saya itu sudah berkurang setengahnya, bukan Rp 300 ribu, tetapi cuma Rp 150 ribu. Sekali lagi saya mohon kepada Tuhan, jangan titipkan uang kepada Pak Lurah. Saya khawatir uangnya akan dipotong lagi oleh Pak Lurah. Membaca isi surat itu, Pak Lurah merasa sedih. Perlahan-lahan air matanya menetes membasahi pipinya. Untung saja Pak Lurah tak marah, ia memaklumi logika berpikirnya si anak. Memang, kebaikan dan kejujuran untuk membantu kesulitan orang lain tak selalu berbuah manis. Adakalanya menuai fitnah seperti yang dialami oleh Pak Lurah ini. Tak terbayangkan, betapa perihnya hati Pak Lurah yang dituduh telah berbuat curang dan memotong uang oleh si anak itu. Si anak mengira, uang yang ia terima itu adalah pemberian Tuhan. Padahal, Pak Lurah itulah yang memberikan uang pada si anak. Bagaimana mungkin ia bisa berbuat curang dan memotong uang itu, sementara ia sendiri sangat iba dan kasihan melihat kesengsaraan yang dialami oleh si anak dan ibunya itu. Sepotong cerita yang saya paparkan di atas memang acapkali terjadi. Tapi, Jika kemudian ia dituduh berbuat curang, mungkin disebabkan oleh perbedaan cara berpikir dari masing-masing individu, antara Pak Lurah dan si anak itu. Maka, supaya tidak terjadi hal-hal seperti yang dialami oleh Pak Lurah itu, perlu komunikasi secara intensif, efektif dan komunikatif dengan membangun dialog agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat berakibat fatal.
0 komentar:
Posting Komentar